Maraca Books and Coffee
Ada kecenderungan kedai-kedai kopi berusaha menarik pelanggan dengan mempermak habis-habisan sektor interior. Tidak ada yang salah, toh faktor interior memang jadi salah satu elemen penting dalam pemasaran. Namun tempat yang cantik, interior menarik, dan tentunya, instgramable akan sia-sia jika elemen utama bisnis kuliner jadi terabaikan: rasa. Terlebih jika bicara posisi kedai kopi dalam ranah sosial.
Sebagai pemain baru di ranah per-kedai kopi-an kota Bogor, Maraca memilih untuk menjual cita rasa kopi lokal Indonesia sembari menyediakan tempat untuk membaca dan bercerita. Itulah yang jadi alasan penamaan Maraca, yang berarti sama-sama saling membaca dalam bahasa Sunda, oleh Bimo Arie Pamungkas, Husna Alfiani, serta Dela Arundina, tiga pemilik kedai kopi yang berlokasi di kawasan Sempur, Bogor ini. “Inspirasi saya dari serial televisi Dharma & Greg. Ada pasangan yang membuka semacam tempat buat orang ngumpul, tanpa jualan dan pakai dekorasi apapun, tapi orang-orang senang datang ke situ, ngasih tip, dan ketika tempat itu tutup orang-orang pada bingung dan sedih.”
Ada sekitar 8 varian kopi single origin yang membentang dari Barat sampai Timur Indonesia. Mulai dari Gayo, Lintong, Mandailing, Pangalengan, Toraja Yale, Bali Kintamani, Flores Bajawa, sampai Papua Amungme yang siap diseduh. “Setiap jenis kopi punya karakter berbeda yang dipengaruhi dari faktor geografis sampai jenis tanaman tumpangsarinya,” jelas Bimo menjelaskan sajian khas kedai kopi yang resmi beroperasi Maret 2016 silam ini.
Menurutnya kopi-kopi single origin ini bukan jadi sajian populer jika dibandingkan kopi espresso based seperti cappuccino atau latte. “Tapi kopi-kopi ini akan jadi sangat mahal untuk kita nikmati kalau sudah diolah, diekspor dan masuk lagi ke Indonesia,” terang Bimo. “Di sini bahkan cappuccino dan latte pakai single origin. Agak menyalahi aturan karena house blend seharusnya campuran Arabika dan Robusta, tapi kopi kan balik ke selera. Secara tidak langsung kita ingin mengedukasi publik sekaligus memajukan petani kopi lokal Indonesia.”
Setelah perusahaan minyak multinasional yang jadi tempat mencari nafkah selama empat tahun tidak memperpanjang kontraknya, Bimo memutuskan untuk mewujudkan impian lamanya yang mengendap: membuka kedai kopi yang punya koleksi buku. “Banyak yang bilang minat baca rendah, tapi setiap saya ke Gramedia saya selalu melihat ada orang baca sampai ngesot dua jam.”
Di Bogor sendiri, konsep seperti ini belum terlalu familiar. Sebagian besar masih menjual desain interior yang chic untuk dapat banyak perhatian media sosial. Sebagian kecil memilih mengedepankan tempat ngobrol semalam suntuk. “Kita berusaha membentuk segmentasi sendiri yaitu orang yang suka buku dan suka ngopi. Paling tidak kalau butuh itu mereka sudah tahu harus kemana,” ujar Bimo.
Sadar belum punya modal cukup, ia memutar otak mencari kawan yang bisa diajak berkongsi. Tidak perlu waktu lama karena ia menemukan teman-teman semasa berseragam putih abu-abu yang mau diajak untuk mengelola kedai seluas 35 meter persegi. “Istri saya yang aktif di komunitas parenting yang menemukan mereka. The power of rumpi,” jelas Bimo.
Adalah Dela yang memastikan rak buku di Maraca selalu segar dengan buku-buku yang rutin diganti setiap bulan. Beberapa judul yang terselip diantaranya A World Without Islam, Bhagavad Gita, 1984, Madilog, Babad Tanah Jawi sampai novel-novel populer seperti serial Supernova, dan komik-komik Jepang. “Dela ini pecinta buku akut, kadang walau sudah punya versi e-book, dia tetap beli buku fisiknya,” terang Bimo. Juga bertumpuk-tumpuk majalah National Geographic edisi Indonesia dan berbahasa Inggris. “Kami berusaha menyediakan tempat yang orang bisa baca buku sepuasnya cukup dengan jajan kopi saja,” kata Bimo.
Sedang urusan dekorasi diserahkan kepada Husna Alfiani yang akrab dipanggil Feni, pegawai negeri sipil yang lebih banyak dikenal sebagai seniman brush lettering. “Untuk desain interior kami mengedepankan tema Rustic Industrial untuk menunjukkan kalau bagus dan nyaman tidak harus fancy dan mewah,” terang Bimo yang mengaku banyak dibantu oleh kakaknya yang bekerja sebagai arsitek untuk urusan penataan ruang.
Tidak banyak ornamen-ornamen untuk mempercantik interior. Gantinya adalah tembok yang hanya diplester, yang di beberapa bagian menjadi kanvas untuk artist mural setempat. Juga rak buku dan jejeran meja kursi dari kayu pallet. “Meubelnya kami buat sendiri menggunakan bahan kayu pallet daur ulang dan refurbish furniture lawas,” kata Bimo sambil menunjuk sepasang sofa kayu berusia hampir setengah abad peninggalan ayahnya.
Setelah anggota lengkap, urusan selanjutnya adalah memilih lokasi yang cocok. Berlokasi di kawasan Sempur yang jadi kawasan pemukiman elit sejak zaman Belanda, tepatnya di jalan Jalak Harupat, membuat Maraca tak sulit untuk dicari. Terlebih meski berada di jantung kota, kawasan ini tetap terasa sejuk karena bersinggungan dengan Kebun Raya Bogor yang selama hampir dua abad menjadi pemasok udara segara untuk penghuni Kota Hujan. Begitu mendukung untuk duduk berjam-jam sambil menyesap harum kopi yang baru saja diseduh.
“Lokasi ini yang memilih kami,” kenang Bimo. Awalnya mereka mengincar lokasi di kawasan Pandu Raya yang saat ini jadi titik kuliner paling panas di Bogor. “Ternyata di sana ada sekitar 15 kedai kopi yang konsepnya nggak beda jauh. Sampai suatu hari ada relasi dari ayah kami yang menawarkan untuk mengurus sebidang lahan kosong yang ada di dekat tempat usahanya.”
Pengalaman sebagai barista di dua kedai kopi saat masih menempuh studi di Yogyakarta membuat Bimo telaten menanyakan setiap pesanan ke pengunjung. “Hal terpenting menjadi barista adalah mengetahui apa yang diinginkan peminum kopi,” ujarnya. Pertanyaan pertama yang diajukan untuk pengunjung yang kali pertama datang: peminum kopi atau bukan?
Jika yang datang golongan pertama, Bimo dan dua barista lainnya tidak perlu mengarahkan lebih jauh lagi. “Kadang malah kami persilahkan untuk meracik sendiri kopinya.” Tapi cerita berbeda jika golongan berikutnya yang datang. “Mereka ini seringkali pesan espresso, mungkin karena harganya yang paling murah, tapi kemudian bingung waktu liat hanya secangkir kecil dan rasanya pahit,” ujar Bimo sambil tertawa. “Atau pesan dibuat pakai V60 tapi ingin pakai es, padahal kopi-kopi Arabika kalau suhunya turun menjadi lebih dingin rasanya akan berubah lebih asam di mulut, hal ini umum diketahui peminum kopi arabika single origin, namun orang awam biasanya tidak terlalu suka ketika rasanya berubah menjadi asam,” ujar Bimo seraya menerangkan varian Arabika dipilih oleh Maraca untuk menyesuaikan selera konsumen lokal yang umumnya tidak terlalu senang dengan rasa pahit khas varian Robusta.
Dirinya juga tak segan mengajak ngobrol pengunjungnya. “Ada beberapa tipe pengujung yang datang kesini, mulai yang ingin serius baca buku, menyelesaikan pekerjaan, atau sekadar ingin duduk sambil menyesap kopi. “Bagi saya, pemilik yang baik adalah pemilik yang tahu flow dari tempat usahanya sendiri. Kapan harus mengajak bicara pelanggan dan kapan membiarkan pelanggan dengan kesibukannya,” ujarnya.
Hasil-hasil obrolan Bimo dengan pelanggannya tadi lalu diunggah ke Instagram @maracacoffee. Konsepnya hampir serupa dengan situs Humans of New York namun dengan narasi yang jauh lebih singkat. “Banyak yang akhirnya datang ke Maraca supaya bisa bertemu dan ngobrol dengan orang-orang tadi,” jelasnya.
Di Maraca, semuanya bisa dibaca dan diperbincangkan. Mulai dari musik, kota, esensi hidup sampai problema klasik khas kelas pekerja tanggung: cicilan KPR.
diambil dari : https://www.minumkopi.com/membaca-kopi-di-maraca/
***
Gue pribadi suka banget sama gaya penulisannya Mas Jaki pada artikel ini. Terus berkarya dan jangan lupa cicilan KPR-nya dibayar, ya, tiap bulannya :))
Pankapan, gue bahas, deh, dari sudut pandang gue tentang bagaimana kok bisabisanya jadi aja si Maraca ini :)
14 comments
ooh, jadi buni ini termasuk pemilik maraca to?
ReplyDeleteduuh kalau pas kesana terus ditanyain peminum kopi atau bukan jadi takut. Hihi...
bilang aja ke baristanya (si Babap) : ajarin bikin kopi, karena banyak loh yang pengen ala ala jadi barista ke Maraca, pengen tau cara nyeduh :D disini semua manual, bisa banget beli alatnya sendiri, loh.. yuk, kapan jadinya ke Bogor #eaaa
Deletemau main ke sana ketemu bumiiil!
ReplyDeleteayo Mbak, dengan senang hati kalau mau berkunjung ke warkop :D
Deletegak sabar nunggu postingan kamu behind the scene warkop ini deh
ReplyDeletekapan2 aku mampir sana bawa anak2 yaaa
nah iyaaa.. aku bingung mulai dari mana, mbak Deee :)))
Deletegue jadi penasaran sama kopinyaaa... ah, coba di Jakarta (atau Bekasi) pasti gue satronin langsung nih!
ReplyDeleteya gitu aja mbak, cuma kalau mbak Lita main sini, terus kopinya ngga enak, tak sentil si Baristanya suru bikin baru sampe enak hahahahahahaha
Deleteaku ingin main kesini buunnn!! ntar aku japri ya klo pas main2 ke bogor, moga2 ketemu buni xixixi
ReplyDeleteiyaaa.. abis lahiran ya Tiaaa *lho, kok, rekuwes* :))) lol
DeleteKangen Feniiiiii..
ReplyDeleteBaru tau nama lengkapnya hihi. Keren Fen, sukses ya :*
hahahaha iya ngga nyambung, ya, nama lengkap sama panggilan :))))
Deleteaaamiin :D
Jadi kepengen mampir dan maca disana ihhh.. Dulu tiap pulang sekolah pasti lewat Maraca hehe... Btw, di Maraca bisa belajar bikin kopi gak sih? Kepengen belajar, pokoknya kalo di Maraca ada workshop belajar bikin kopi kupasti daftar hehehe 😁😂 sukses terus ya 👊
ReplyDeleteSaya sempat ngopi di oktober 2018 lalu. Asyik tempatnya.
ReplyDelete/ thank you for stopping by